Menjaga untuk yang Terjaga

Photo by Hal Ozart on Unsplash

Menjaga untuk yang Terjaga

Menjaga demi mendapatkan yang terjaga

·

3 min read

Menjaga adalah hal yang sangat penting dalam kehidupan kita. Tidak hanya menjaga kesehatan tubuh, tetapi juga menjaga hubungan dengan orang-orang terdekat, menjaga lingkungan sekitar kita, serta menjaga integritas dan moralitas kita sebagai manusia.

Menjaga membutuhkan kesadaran dan komitmen yang kuat untuk melindungi apa yang penting dan berharga dalam hidup kita. Dengan menjaga, kita membangun pondasi kuat untuk kehidupan yang seimbang dan bermakna, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain di sekitar kita.

Sejak aku kecil, Ibu dan Bapak selalu berpesan kepadaku untuk selalu "menjaga" apapun yang kita miliki, bahkan hanya untuk sebuah gelas atau piring di rumah. Lebih jauh lagi, dalam konteks menjaga "diri sendiri". Ibu dan Bapak selalu mewanti-wanti dengan nada penuh kekhawatiran.

Saat aku tak lagi muda, aku beranjak lebih jauh dalam memahami makna "menjaga". Aku lebih meluaskan lagi implementasi kata menjaga dalam kehidupanku baik dalam konteks menjaga yang bersifat duniawi maupun akhirat.

Salah satu contoh konteks menjaga akhirat yang aku pegang erat hingga saat ini adalah "memilih untuk tidak terlibat dalam sebuah hubungan spesial (pacaran) dengan siapapun".

Namun, hal itu bukan berarti aku juga memilih untuk tidak berteman dengan lawan jenis. Tentu saja tidak. Aku juga masih normal dan sama seperti manusia pada umumnya yang naksir dengan lawan jenis. Ini harus diluruskan sejak awal, agar tidak muncul spekulasi "paling juga lesbei atau ga normies" di kemudian hari.

Di umurku yang sekarang genap 24 tahun, aku terhitung dua kali naksir dengan lawan jenis. Pertama, ketika umurku 13 tahun dan bertahan hingga umurku 20 tahun. Ya, benar. Sekitar 7 tahun aku membawa perasaan itu untuk orang yang sama.

Sejak awal aku memang sengaja memutuskan untuk tidak berpacaran, aku hanya menitipkan perasaan ini kepada Sang Pemilik hati. Jika Dia memang meridhoi, entah bagaimanapun caranya pasti akan bertemu. Aku cukup memperhatikannya dari kejauhan sembari mempersiapkan diri.

Pertanyaan selanjutnya, kenapa memilih menyudahi perasaan yang sudah bertahan selama 7 tahun lamanya? Jawabannya, karena orang tersebut dijodohkan dengan sahabatku.

Untuk orang yang kedua, aku tidak tau ini perasan tertarik atau hanya sebatas mengagumi. Karena saat ini, pikiranku, setiap waktunya semakin mengerucut "Aku hanya ingin menjaga untuk yang terjaga".

Aku semakin tidak tertarik untuk berpacaran. Aku berfikir, ketika berpacaran sepertinya hanya akan membuang-buang waktu saja. Ya, bisa dibilang aku kalah sebelum bertanding. Aku enggan untuk mencicipi rasa sakit ketika kenyataan mengharuskan jika aku dan dia tak ditakdirkan untuk berjodoh.

Sebagai pribadi yang tak begitu religius, aku berusaha membangun pondasi yang kokoh untuk menopang "kesemogaan" yang setiap waktu kian menjulang tinggi.

Misal, aku menginginkan seseorang yg terjaga namun aku sendiri tidak terjaga. Tentu, pondasi yang aku bangun bisa dipastikan tidak akan kokoh.

Contoh lain misalnya, aku menginginkan suatu hari nanti selepas akad nikah diberi hadiah bacaan Surah Maryam oleh suami. Tentu, jauh sebelum waktu tersebut tiba, aku harus sudah mempersiapkan hafalan surah tersebut. Masa iya, minta dikasih hadiah bacaan ayat suci tapi sendirinya ga hafal kan ga lucu dong🫣

Dua perumpamaan yg disebutkan di atas hanyalah contoh pondasi sederhana menurutku. Selain dari sudut pandang keyakinan, aku tak pernah beranggapan orang-orang yg memilih utk berpacaran itu salah. Karena mereka pasti punya alasan tersendiri.

Teruntuk siapa pun nanti yang Allah takdirkan menjadi partner hidupku, semoga kamu selalu menjaga diri di manapun kamu berada. Berjalanlah dalam naungan ridha-Nya, berharap lah terhadap keberkahan-Nya, dan berbahagialah untuk setiap ketetapan-Nya.